Malam hari ini insyaAlloh malam 10 Muharran 1434 H, yang kita kenal
sebagai Hari Asyura (عاشوراء ) yang artinya adalah hari ke-10 pada bulan
Muharram dalam kalender Islam. Se... dangkan asyura sendiri berarti kesepuluh.
Namun dibalik semua itu ada sebuah peristiwa heroik yang perlu kita
kenang, yaitu Tanggal 10 Muharram 61 H atau tanggal 10 Oktober 680 M
merupakan hari pertempuran Karbala yang terjadi di Karbala, Iraq
sekarang. Pertempuran ini terjadi antara pasukan Bani Hasyim yang
dipimpin oleh Husain bin AliBani Umayyah yang dipimpin oleh Ibnu Ziyad,
atas perintah Yazid bin Muawiyah, khalifah Umayyah saat itu.
Tragedi Karbala’, meski telah lewat 1373 tahun, masih mendengungkan
nyanyian duka yang tiada henti. Berikut ini adalah babak terakhir Perang
Karbala’ yang kembali dikisahkan bukan untuk memedihkan lagi luka
sejarah itu, namun untuk sekedar mengingatkan, betapa perpecahan antar
umat Islam sebaiknya tidak terjadi lagi.
Matahari bersinar
garang, tepat di atas kepala-kepala berbalut sorban yang telah basah
bermandikan keringat dan debu. Seorang pria setengah baya berteriak
keras, “Hentikan pertempuran! Waktu Zhuhur telah tiba, kita harus
shalat!!”
Sia-sia.......
Suara pria gagah itu lenyap
ditelan gemuruh ribuan pasukan musuh yang terus merangsek maju. Ia
mengeluh. Perlahan ia memutar pandangan ke sekelilingnya. Satu.. dua..
tiga.. hanya tinggal belasan orang saja kerabatnya yang masih bertahan
hidup. Dengan tenaga yang masih tersisa pedang mereka menebas ke kanan
dan ke kiri, menumbangkan satu persatu musuh yang mencoba mendekat.
Pria yang berjuluk Sayyid Syabab Ahlil Jannah itu kembali menghela
nafas. Ketika matahari terbit pagi itu, ada tujuh puluh dua orang
keluarga dan sahabat prianya yang berdiri gagah di belakangnya. Namun
kini tinggal beberapa...
Memang. Apalah arti tiga puluh dua
penunggang kuda dan empat puluh orang pejalan kaki, dibanding empat
ribuan orang pasukan musuh. Satu persatu anggota pasukan kecil itu
tumbang sebagai syahid. Dan ketika matahari mulai tergelincir ke barat,
hanya tinggal orang saja yang tersisa, berjuang membela harga diri,
kehormatan dan kebenaran yang mereka yakini.
Padang tandus itu
masih mengepulkan debunya ke udara. Tak hanya pengap gurun yang tercium,
udara ditepian sungai Eufrat siang itu juga mulai menebarkan bau amis
darah.
Siang itu, terik mentari padang pasir menjadi saksi
sebuah peristiwa kelam yang terus dikenang hingga saat ini, Perang
Karbala. Perang, yang terjadi antara Al-Husain bin Ali bin Abi Thalib
dan para pengikutnya melawan tentara Dinasti Umayyah yang dipimpin Umar
bin Sa’ad bin Abi Waqqash dan Syimar bin Dziljausyan, itu nyaris
memusnahkan keturunan Rasulullah dari garis Al-Husain. Konon,
pertempuran tak berimbang yang tak ubahnya pembantaian itu sudah
diramalkan Nabi Muhammad SAW di hari Al-Husain lahir.
Dikisahkan, 57 tahun sebelumnya, ketika mendengar Fatimah Az-Zahra telah
akan melahirkan putra keduanya, Rasulullah segera bergegas
menjenguknya. Tak lama kemudian tangis sang jabang bayi pun pecah.
Tangis itu sangat keras, sekokoh hati pemiliknya. Nabi Muhamad lalu
meminta cucunya itu dibawa ke pangkuannya untuk dibacakan adzan dan
iqamah.
Asma binti Umais, sahabat Anshar yang membantu Fatimah
saat melahirkan, segera menggendong bayi merah itu dan menyerahkannya
kepada Baginda Nabi. Setelah diadzani dan diiqamati, sang jabang bayi
lalu diberi nama Al-Husain, semakna dengan nama sang kakak yaitu
Al-Hasan yang berarti kebajikan.
Ketika tengah asyik menciumi
sang cucu, tiba-tiba Nabi termangu dan meneteskan air mata. Umais pun
segera bertanya, “Mengapa di hari bahagia ini Anda menangis, wahai
Rasulullah?.”
“Jibril baru saja memberitahu kepadaku, kelak
anak ini akan dibunuh oleh sebagian umatku yang durhaka. Jibril juga
menunjukkan tanah di mana Al-Husain terbunuh.”
Ibnul Atsir,
dalam tarikh Al-Kamilnya, menceritakan, Nabi pernah memberikan segumpal
tanah berwarna kekuningan kepada Ummu Salamah, salah satu istri beliau,
yang didapat dari Malaikat Jibril. Tanah tersebut, menurut kabar dari
Jibril, berasal dari daerah di mana Al-Husain akan terbunuh dalam sebuah
pertempuran.
Nabi berpesan kepada Ummu Salamah, “Simpanlah
tanah ini baik-baik. Bila warnanya berubah menjadi merah, ketahuilah
bahwa Al-Husain telah meninggal dunia karena dibunuh.”
Dan,
tepat pada tanggal 10 Muharram 57 H, Ummu Salamah menyaksikan gumpalan
tanah pemberian suaminya berubah warna menjadi merah. Tahulah ia, cucu
kesayangan Rasulullah itu telah meninggal dunia. Ummu Salamah adalah
orang pertama di Madinah yang mengetahui perihal kematian Al-Husain.
Dari mulutnya pula berita duka itu menyebar ke segenap penjuru kota dan
menggemparkannya.
Perang Karbala’ adalah tragedi terbesar kedua
dalam sejarah Islam setelah beberapa perang saudara pada masa
pemerintahan Sayyidina Ali bin Abi Thalib, yakni Perang Jamal, yang
menghadapkan Ali bin Thalib dengan Thalhah bin Ubaidillah, Zubair bin
Awwam dan Aisyah Ummul Mukminin, dan Perang Shiffin, antara tentara
Khalifah Ali bin Abi Thalib dengan kubu Mu’awiyah bin Abu Sufyan.
Sebagaimana perang saudara sebelumnya, Perang Karbala juga menghadapkan
dua tokoh generasi kedua Islam yang merupakan putra sahabat-sahabat
terdekat Nabi, Al-Husain putra Sayyidina Ali dengan Umar putra Sa’ad bin
Abi Waqash yang mewakili Yazid bin Muawiyyah dan gubernurnya di Kufah,
Ubaidullah bin Ziyad.
Matahari terus bergerak ke arah barat.
Menyadari pasukan musuh sama sekali tak berniat menghentikan
pertempuran, bersama sisa pengikutnya Al-Husain pun mendirikan shalat
khauf, shalat darurat di tengah medan perang. Di antara mereka tampak
adik tirinya, Abbas; putra kedua Al-Husain, Ali Al-Akbar; dan
kemenakannya, Qasim bin Hasan bin Ali. Bergantian mereka melaksanakan
ruku’ dan sujud, sementara yang lain berusaha melindungi dengan pedang
dan tombak.
Matahari semakin menyengat ketika shalat khauf
usai. Kembali Imam Husain dan para pengikutnya berjuang mempertahankan
diri. Dan kembali, satu persatu anggota pasukan kecil itu berguguran,
hingga akhirnya tinggal Al-Husain, Ali Al-Akbar bin Al-Husain, dan Abbas
saja yang tersisa.
Dengan gagah berani Ali Akbar menerjang
musuh dan berhasil menumbangkan tiga atau empat orang musuh sebelum
sebuah sabetan pedang membuatnya terluka parah. Ia mundur mendekati sang
ayah karena merasa sangat kehausan. Namun sejak pagi, persediaan air
rombongan Al-Husain telah habis. Sementara untuk mengambil dari sungai
Eufrat yang tak seberapa jauh juga tak memungkinkan, karena ribuan
tentara Umayyah berbaris menjaganya.
Dengan wajah iba Al-Husain
menentramkan putranya, “Bersabarlah anakku, sebelum petang Datukmu
Rasulullah SAW akan datang untuk memberimu minum dengan kedua tangan
beliau yang mulia.”
Mendengar ucapan sang ayah yang menjanjikan
kesyahidan, semangat Ali Akbar kembali tersulut. Ia segera kembali ke
tengah pertempuran dan menumbangkan dua atau tiga lawan. Langkah pemuda
pemberani terhenti ketika sebatang anak panah menembus lehernya. Ali
Akbar menghembuskan nafas terakhirnya di pangkuang sang ayahanda.
Tiba-tiba dari dalam tenda seorang perempuan menghambur keluar dan
berlari menuju Imam Husain yang tengah memangku jasad Ali Akbar.
Tangisnya pecah saat memeluk jenazah kemenakan tercintanya. “Terkutuklah
orang-orang yang telah membunuhmu, Anakku,” raung Zainab binti Ali,
adik kandung Al-Husain. Kematian Ali Akbar menggenapkan dukanya setelah
sepagian melihat tiga putranya Aun Al-Akbar, Muhammad dan Ubaidullah
gugur di medan perang Karbala’.
Al-Husain, sambil membawa
jenazah Ali Akbar, segera menarik adiknya kembali ke tenda. Tiba-tiba
dari arah belakang kemudian terdengar teriakan seorang bocah kecil, “Hai
orang jahat! Kau mau membunuh pamanku?.”
Dengan berani anak
itu menghadang laju seorang prajurit Umayyah yang akan membokong
Al-Husain. Di tangannya tergenggam sebatang tongkat kayu. Sejurus
kemudian Qasim bin Hasan bin Ali, demikian nama anak yang baru menginjak
remaja itu, menjerit karena seorang tentara musuh menebas putus tangan
mungilnya.
Al-Husain segera meraih remaja yang mewarisi
ketampanan ayahandanya itu. Dengan lembut ia berbisik di telingan
kemenakan kecilnya, “Tabahkan hatimu, anakku sayang. Allah akan segera
mempertemukanmu dengan ayah dan kakekmu.”
Kini hanya tersisa
Al-Husain dan adik tirinya Abbas bin Ali. Penatnya bertempur seharian
dan teriknya matahari siang membuat dahaga keduanya tak tertahankan
lagi. Mereka pun nekat menerobos barisan tentara Umayyah yang menjaga
tepian sungai Eufrat. Berhasil. Dengan tergesa keduanya menciduk air
dengan kedua telapak tangannya.
Namun sebelum dahaga itu
terobati, hujan anak panah membuat Abbas rebah tak bangun lagi. Sebatang
anak panah juga menghujam pipi Al-Husain. Dengan pilu dicabutnya anak
panah dan menutup lubangnya dengan telapak tangan. Kepala suami
Syahbanu, putri kerajaan Persia, itu kemudian tengadah dan berdoa, “Ya
Rabb, hanya kepada-Mu aku mengadu. Lihatlah perlakuan mereka terhadap
cucu rasul-Mu.”
Matahari telah condong di ufuk barat. Waktu
Ashar yang telah datang menjelang menjadi saksi Al-Husain yang tinggal
berjuang sendirian. Wajahnya nampak lelah, meski tak mengurangi sorot
keberaniannya, dan sekujur tubuhnya dipenuhi luka senjata.
Puluhan anggota pasukan Umayyah mengurungnya. Namun seperti tersihir,
tak satupun yang berani mengayunkan pedang ke arah Imam Husain.
Nampaknya ada keraguan yang menyelimuti benak masing-masing pasukan.
Mereka tengah menimbang, “Beranikah menanggung resiko menjadi orang yang
menghabisi nyawa cucu Rasulullah?.”
Sementar Al-Husain, dengan
segala kewibawaan dan harga diri yang diturunkan ayah dan kakeknya,
berdiri di tengah-tengah dengan pedang teracung. Ia berseru lantang,
“Apa yang membuat kalian ragu membunuhku. Majulah. Demi Allah, tidak ada
pembunuhan yang lebih dibenci Alah dari pada pembunuhanku ini. Sungguh
Allah akan memuliakanku, dan menghinakan kalian.”
Melihat
Al-Husain sendirian di tengah kepungan musuh, Zainab –yang belakangan di
kenal sebagai Bathalah Karbala, pahlawan Karbala—berseru,
“Mudah-mudahan langit ini runtuh.” Ketika itulah Umar bin Sa’ad, sang
panglima tentara Umayyah, melintas. Zainab pun memanggilnya, “Hai Umar,
tega sekali kau melihat Husain dibunuh di depan matamu.” Umar tertegun,
matanya nampak berkaca-kaca, namun ia segera berlalu.
Tiba-tiba
Syimar Dzil Jausyan mendekati kepungan. Melihat anak buahnya tak ada
yang berani menyerang al-Husain, ia pun membentak, “Terkutuk kalian
semua! Apa yang kalian tunggu? Cepat bunuh dia! Khalifah akan memberikan
hadiah yang besar bagi kalian.”
Bentakan itu seakan
membangunkan mereka dari mimpi. Zara bin Syarik mengayunkan pedangnya
hingga memutuskan lengan kiri Al-Husain. Masih dalam keadaan limbung,
tombakan Sinan bin Nakhi merobohkan tubuh cucu baginda Nabi itu ke
tanah. Melihat teman-temannya masih diam tertegun, Sinan segera turun
dari punggung kudanya dan memenggal kepala Al Husain bin Ali bin Abi
Thalib. Al-Husain wafat pada tanggal 10 Muharram 61 H, lima puluh tujuh
tahun setelah Rasulullah mendapat kabar kematiannya dari Malaikat
Jibril.
Tak cukup puas, serdadu-serdadu yang sudah kesetanan
itu lalu menjarah benda berharga yang melekat pada mayat-mayat pejuang
pembela Al-Husain dan merampok barang bawaan di tenda-tenda rombongan
Ahlul Bait. Saat itulah Syimar menemukan Ali Asghar, putra Al-Husain,
yang sedang terbaring sakit di dalam tenda dengan ditemani bibinya,
Zainab. Lelaki biadab itu pun bermaksud menghabisi Ali Ashgar, kalau
saja Zainab tidak mati-matian mempertahankannya.
Sambil memeluk keponakannya, wanita pemberani itu berteriak, “Apa akan kau bunuh juga anak yang sedang sakit ini?.”
Syimar ragu-ragu sejenak sebelum memilih untuk meninggalkannya. Mungkin
ia berpikir, tanpa dibunuh pun anak yang sedang sakit itu akan mati
sendiri, karena kehabisan bekalan makanan, minuman dan obat-obatan.
Namun siapa yang tahu rahasia Allah? Justru dari anak yang nyaris
terbunuh itulah keturunan Al-Husain kemudian dapat berlanjut hingga saat
ini.
Dikisahkan bukan untuk memedihkan lagi luka sejarah itu,
namun untuk sekedar mengingatkan, betapa perpecahan antar umat Islam
sebaiknya tidak terjadi lagi. Dan Alangkah baiknya bila hari ini kita
jadikan sebagai momen untuk bertafakkur serta berpuasa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar